29.1.05

Situs Gunung Padang


Situs Gunung Padang di Kampung Gunung Padang dan Kampung Panggulan, Desa Karyamukti Kecamatan Campaka, Cianjur, merupakan situs megalitik berbentuk punden berundak yang terbesar di Asia Tenggara. Ini mengingat luas bangunan purbakalanya sekitar 900 m2 dengan luas areal situs sendiri kurang lebih sekitar 3 ha.


Keberadaan situs ini peratama kali muncul dalam laporan Rapporten van de oudheid-kundigen Dienst (ROD), tahun 1914, selanjutnya dilaporkan NJ Krom tahun 1949. pada tahun 1979 aparat terkait dalam hal pembinaan dan penelitian bend cagar budaya yaitu penilik kebudayaan setempat disusul oleh ditlinbinjarah dan Pulit Arkenas melakukan peninjauan ke lokasi situs. Sejak saat itu upaya penelitian terhadap situs Gunung Padang mulai dilakukan baik dari sudut arkeologis, historis, geologis dan lainnya.

Bentuk bangunan punden berundaknya mencerminkan tradisi megalitik (mega berarti besar dan lithos artinya batu) seperti banyak dijumpai di beberapa daerah di Jawa Barat. Situs Gunung Padang yang terletak 50 kilometer dari Cianjur konon merupakan situs megalitik paling besar di Asia Tenggara. Di kalangan masyarakat setempat, situs tersebut dipercaya sebagai bukti upaya Prabu Siliwangi membangun istana dalam semalam.

Dibantu oleh pasukannya, ia berusaha mengumpulkan balok-balok batu yang hanya terdapat di daerah itu. Namun, malam rupanya lebih cepat berlalu. Di ufuk timur semburat fajar telah menggagalkan usaha kerasnya, maka derah itu kemudian ia tinggalkan. Batu-batunya ia biarkan berserakan di atas bukit yang kini dinamakan Gunung Padang. Padang artinya terang.

Punden berundak Gunung Padang, dibangun dengan batuan vulkanik masif yang berbentuk persegi panjang.

Bangunannya terdiri dari lima teras dengan ukuran berbeda-beda. Batu-batu itu sama sekali belum mengalami sentuhan tangan manusia dalam arti, belum dikerjakan atau dibentuk oleh tangan manusia.

Balok-balok batu yang jumlahya sangat banyak itu tersebar hampir menutupi bagian puncak Gunung Padang. Penduduk setempat menjuluki beberapa batu yang terletak di teras-teras itu dengan nama-nama berbau Islam. Misalnya ada yang disebut meja Kiai Giling Pangancingan, Kursi Eyang Bonang, Jojodog atau tempat duduk Eyang Swasana, sandaran batu Syeh Suhaedin alias Syeh Abdul Rusman, tangga Eyang Syeh Marzuki, dan batu Syeh Abdul Fukor.

Menyusun Keping-keping Sejarah Megalitik

Sabtu, 27 September 2003

SITUASI Gunung Padang ibarat keping dari mosaik masa megalitik dunia. Berdasarkan penampilan fisik dan lokasinya, konon Gunung Padang merupakan gambaran sejarah manusia yang sedang dalam pencarian tempat hunian yang tetap dan memadai bagi kelompoknya. Situs itu menjadi bukti bahwa Indonesia merupakan bagian ujung Pasifik (Kepulauan Paskah) dan Madagaskar, dan akhirnya bermukim secara tetap.

Namun, hingga kini sejarah Situs Gunung Padang masih diperdebatkan di berbagai kalangan masyarakat. Kendati demikian, lokakarya bertema "Pelestarian dan Pengembangan Kawasan Situs Gunung Padang", di Cipanas, Cianjur, Agustus 2002 lalu, akhirnya menghasilkan kesepakatan bahwa situs itu merupakan peninggalan purbakala yang sangat langka, baik dalam struktur maupun bahan pembentuknya. Situs itu juga merupakan monumen penting yang memperantarai tradisi megalitik dalam rantai Pasifik, mulai dari Madagaskar hingga Pulau Paskah.

Sayangnya, saat ini kondisi situs Gunung Padang tampak kurang terawat. Sebagian anak tangga batu menuju situs itu sudah hilang. Kawasan itu juga ditumbuhi ilalang hingga menutupi sebagian bangunan situs tersebut. Selain itu, sebagian bangunan batu telah hancur berantakan. Bebatuan berserakan, atau terlihat ditumpuk begitu saja.

Berdasarkan catatan arkeolog Widodo, kerusakan batu bahan bangunan terjadi secara fisik, seperti mengelupas, retakan, pecah, dan secara kimiawi seperti pertumbuhan ganggang dan jamur kerak. Tidak tampak pertumbuhan mikroorganisme lumut, karena struktur batuannya kompak. Batu-batu yang mengalami proses pelapukan akan makin cepat lapuk, sehingga perlu dikonservasi secara optimal agar dapat bertahan lama. Batu-batu yang pecah dan patah perlu disambung kembali dan dapat digunakan sebagai acuan pekerjaan penataan batuan.

Untuk itu, Mundardjito dari Universitas Indonesia mengingatkan, perlu diputuskan seberapa jauh didapatkan data untuk mengembalikan situs itu pada bentuk semula. Karena, banyak bagian dari fitur yang miring sehingga dapat ditegakkan kembali, tetapi juga banyak yang sudah jatuh. Bahkan, bentuk denahnya tidak jelas. "Keterbatasan data merupakan hambatan bagi pelestarian yang harus mendasarkan pada prinsip otentisitas," ujarnya.

Satuan-satuan batangan batu yang menjadi penyusun konstruksi bangunan berundak itu ditancapkan lurus pada dinding-dinding teras tanpa diikat satu sama lain sehingga antara satu batangan dengan batangan lain terdapat rongga. Akibatnya, struktur yang tidak homogen ini tidak mampu menerima beban secara merata. Apalagi jika tanah yang mengisi rongga antarbatangan batu itu terlepas dari posisinya karena dikikis aliran air sungai.

"Karena itu, stabilitas bangunan di bagian dinding, terutama teras pertama, sangat mengkhawatirkan. Sejumlah batangan batu letaknya miring, melesak, longsor, atau jatuh," tandas Mundardjito.

Situs itu menjadi rentan terhadap erosi karena faktor kemiringan lereng, jenis dan sifat tanah, ketiadaan sistem drainase, keadaan iklim lingkungan, dan sistem penggarapan lahan oleh penduduk. "Jadi, air permukaan yang mengalir di situs tersebut perlu dirancang pengubahan alirannya sehingga tidak mengikis permukaan tanah pada lereng-lereng dan halaman- halaman," tambah Mundardjito.

Selain itu, kelerengan permukaan tanah bukit itu cukup terjal, khususnya di lereng timur yang mendukung teras bangunan halaman satu. Akibatnya, gaya penggerak menjadi lebih besar sehingga situs itu rawan longsor. Apalagi lereng bukit dan permukaan tanah bangunan berundak ini tidak dilapis tanaman penutup, sehingga makin dikikis air hujan.

Kegiatan penebangan pohon kayu di atas bukit, dan yang menyeretnya melalui halaman-halaman serta tangga-tangga batu telah memperparah kondisi keterawatannya. Belum lagi kegiatan petani peladang yang dalam memperluas lahan garapannya telah meratakan teras-teras tanah di kaki bangunan dan mencabuti batu-batu yang ada. Karena itu, batas antarteras itu tidak ada, dan akibatnya mempercepat aliran air yang mengerosi permukaan tanah.

HASIL lokakarya Situs Gunung Padang merekomendasikan untuk mengangkat secara sistematis dan terencana monumen situs itu sebagai bagian penting rantai megalitik Pasifik. Sebagai salah satu bangunan berundak yang terbesar di kawasan ini, pemerintah seharusnya memprakarsai kerja sama kebudayaan dengan sejumlah negara di kawasan Pasifik melalui tema tradisi megalitik. Upaya ini dapat memperkokoh posisi Indonesia, khususnya Jawa Barat, dalam konstelasi politik kebudayaan pada era Pasifik.

Selain itu, perlu segera disusun rencana induk pengembangan yang memperhatikan asas-asas keberlanjutan, bersandar pada masyarakat, menggali makna arkeologis, memperhitungkan ekonomi lingkungan, mempertinggi nilai saing produk wisata, serta berfungsi sebagai wadah pembelajaran budaya.

"Jadi, perlu dilakukan persiapan sosial dan penyesuaian budaya secara bertahap pada masyarakat setempat maupun berbagai komunitas dan stakeholder terkait," kata Ketua Tim Lokakarya Pelestarian dan Pengembangan Situs Gunung Padang Dr Tony Djubiantono.

"Tampaknya cita-cita ini masih perlu penanganan serius, antara lain keletakannya, transportasi, keadaan lingkungan, masyarakat, dan cara penataan tinggalan itu sendiri dalam bentuk pemugaran dan pengamanannya," tandas Kepala Pusat Penelitian Arkeologi Nasional Haris Sukendar. Menurut dia, sektor pendukung berupa sarana transportasi dan rumah-rumah informasi merupakan hal penting yang disertai penanganan situs secara fisik.

"Kami khawatir terjadi kerancuan dalam pemanfaatannya, sehingga pengungkapan nilai arkeologis maupun nilai keserasian tidak tercapai. Jadi, zona inti, zona penyangga harus ditentukan secara tepat sehingga izin pendirian bangunan rumah untuk rumah-rumah tinggal, hotel, warung, berdiri pada posisi tepat," ujarnya.

Ditambahkan, pemugaran kembali teras berundak Gunung Padang perlu dilakukan mengingat beberapa bagian bangunan telah runtuh. Pemugaran ini perlu dilakukan pada beberapa bagian, antara lain jalan masuk, dinding atau tembok penyangga bangunan bagian depan dan samping, halaman lantai pertama, bangunan pada lantai satu dan dua, dan dinding tembok pemisah lantai satu dan dua.

"Penggunaan batu untuk pemugaran harus menggunakan bahan yang sama, yaitu balok-balok batu persegi empat panjang, sesuai bahan yang dipakai untuk pembangunan teras berundak sendiri," tandasnya.

Untuk itu, pemugaran perlu dibarengi usaha pembuatan taman sebagai daya tarik. Pengadaan sarana penunjang, yaitu aliran listrik perlu dipercepat.

"Situs Gunung Padang perlu ditata sejalan dengan peruntukannya agar dapat diatur, dikendalikan, dan diberi fungsi tepat sesuai dengan wawasan pemanfaatan, wawasan preservasi situs, dan wawasan konservasi bangunan," tandasnya.

Menurut Haris, zona satu merupakan daerah yang berfungsi melindungi bangunan dan tinggalan arkeologi lain yang ada di lahan ini, serta memberi kemungkinan bagi pengunjung memandang bangunan tanpa terhalang. Zona ini mutlak harus dibebaskan dari kegiatan penggarapan lahan pertanian oleh penduduk setempat sehingga erosi lebih lanjut dapat dicegah atau dihambat. Zona seluas 17.504 meter persegi dan telah menjadi milik pemerintah itu merupakan daerah inti karena terdapat banyak peninggalan arkeologi yang perlu diteliti dan dilestarikan.

Ditambahkan, zona kedua seluas 45.000 meter persegi dapat dijadikan daerah penyangga zona inti. Bagian pertama, lahan hijau tempat tetumbuhan dapat ditanam sebanyak mungkin untuk memberi kesejukan dan panorama hijau bagi pengunjung. Bagian kedua, lahan untuk memberikan fasilitas pelayanan umum. "Perlu dipikirkan pendirian museum situs, lapangan parkir, kios cenderamata, dan bumi perkemahan," kata Mundardjito.

Zona ketiga seluas 240.000 meter persegi merupakan zona di mana masih terdapat sisa teras batu yang masih utuh, meskipun kuantitatif tidak terlalu banyak. "Zona ini dapat dikembangkan menjadi daerah terbatas dalam arti di beberapa lokasi penduduk masih dapat memanfaatkan lahan, tetapi harus memperhatikan upaya pengamanan situs. Di sini dapat dibangun berbagai fasilitas bagi pengunjung, seperti kantor informasi, tempat istirahat, dan parkir kendaraan," katanya.(EVY)

Menyusuri Jejak Leluhur di Situs Gunung Padang

Sabtu, 27 September 2003

KALA memasuki kawasan Situs Megalit Gunung Padang, roda waktu seakan berputar mundur kembali ke masa silam, zaman di mana sejarah belum tercatat. Bangunan batu berundak di Desa Karyamukti, Kecamatan Campaka, sekitar 45 kilometer arah selatan Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, mengundang kita untuk mereka-reka tradisi macam apakah yang mampu melahirkan karya monumental di atas perbukitan itu.

JIKA masa pemerintahan Syailendra meninggalkan jejak bernama Candi Borobudur yang tercatat sebagai salah satu dari tujuh keajaiban dunia, Situs Gunung Padang patut dicatat sebagai saksi sejarah zaman keemasan megalitik. Saat ini, situs bersejarah itu boleh dibilang merupakan peninggalan masa megalitik terbesar di Asia Tenggara, dan menjadi bagian dari jalur kebudayaan masyarakat zaman megalitik di Asia dan Pasifik.

Situs Gunung Padang juga merupakan obyek wisata budaya nan eksotis. Akses menuju ke lokasi situs itu bisa ditempuh dengan menggunakan kendaraan bermotor. Lebih asyik lagi jika kita menggunakan kendaraan dengan penggerak empat roda yang biasa digunakan untuk jalanan berbatu dan terjal.

Dari Jakarta, kita dapat menempuh perjalanan melewati kawasan Puncak sambil menghirup udara segar pegunungan. Sepanjang perjalanan kita dapat menikmati hamparan perkebunan teh dan sayur-mayur yang ada di tepian jalan. Setiba di pusat Kota Cianjur, yang juga dikenal sebagai kota tauco, perjalanan dilanjutkan ke bagian selatan Cianjur yang medannya berliku-liku.

Setelah menempuh perjalanan sekitar 30 kilometer ke arah selatan Kabupaten Cianjur, akhirnya kita memasuki Kecamatan Campaka. Sekitar 200 meter dari persimpangan jalan, kita tidak lagi menjumpai jalanan beraspal yang mulus. Tubuh akan terguncang-guncang di dalam kendaraan saat melewati jalan berbatu, yang sebagian hanya dilapisi tanah, hingga ke lokasi situs dengan jarak sekitar 15 kilometer.

Selain itu terdapat beberapa percabangan jalan yang membingungkan pengunjung situs bersejarah tersebut. Hal ini disebabkan belum adanya penunjuk arah menuju lokasi situs.

PERJALANAN mencapai Situs Gunung Padang serasa menuju ujung langit. Melelahkan, karena medan yang terjal dan berliku. Mendebarkan, karena kita dibuat tak sabar menanti kejutan masa purba. Makin dekat ke tujuan, daya pikat situs yang menjadi mata rantai budaya masa megalitik di Asia Pasifik itu terasa makin kuat.

Keletihan badan serasa sirna begitu membasuh muka dan kedua tangan dengan air yang mengalir di dalam ceruk dari batu. Kejernihan airnya terasa menyejukkan jiwa dan membangkitkan semangat baru untuk segera memasuki kawasan situs itu. Sejumlah pengunjung terlihat mengambil air dari ceruk itu sebagai tanda mata.

Ternyata, perjalanan belum berakhir. Untuk mencapai situs itu kita masih harus berjalan menaiki undakan batu yang konon memiliki seribu anak tangga dengan medan curam. Namun, sebagian anak tangga itu telah hilang karena dimakan usia sehingga menyulitkan pengunjung melewatinya. Pengunjung juga dapat melalui anak tangga buatan yang terletak di sebelah kanan gerbang kawasan itu dengan undakan tidak terlalu curam.

Begitu menapaki anak tangga terakhir, keletihan berubah menjadi perasaan takjub saat menyaksikan situs megalit itu. Kekuatan dahsyat dari masa lampau terpancar dari bangunan berundak di kawasan itu. Ternyata, nenek moyang kita telah mampu menghasilkan karya monumental yang diperkirakan merupakan situs peninggalan sejarah terbesar di Asia Tenggara pada zaman megalit.

Situs peninggalan sejarah itu terdiri dari bangunan berundak-undak yang berukuran panjang 118 meter dan lebar 40 meter pada teras pertama. Bangunan itu terdiri dari lima tingkatan, yang makin ke atas luasnya makin menyempit.

Struktur keseluruhannya adalah struktur terbuka, terbagi atas teras-teras berundak yang terbuka serta undak-undaknya dibatasi batu-batu berdiri. Pada umumnya, bangunan teras berundak-undak ini dipergunakan untuk upacara- upacara, dan mungkin juga untuk penguburan.

Ribuan batu yang berbentuk batangan dipasang untuk penguat dinding struktur undak, lantai, tangga batu, dan pembatas halaman. Ada pula yang ditegakkan sebagai batas fitur. Batuan bahan bangunan ini termasuk jenis batuan beku andesit yang mendekati basal, berwarna hitam, dan strukturnya cukup kompak.

Di dekat gerbang masuk situs itu terdapat tumpukan batu di bawah sebuah pohon yang rindang. Saat mengamati bangunan peninggalan masa megalitik tersebut, kita juga dapat menikmati kesejukan hawa pegunungan di tempat itu sambil duduk di atas pelataran situs yang ditanami rumput. Selain itu, di sebelah kiri teras pertama situs tersebut terdapat bangunan dengan susunan batu tegak dan batu datar yang membentuk halaman empat persegi panjang.

Menurut arkeolog Haris Sukendar dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (Puslit Arkenas), bangunan itu kemungkinan merupakan tempat berkumpul para pemimpin masyarakat dalam memutuskan perundangan maupun aturan- aturan yang harus dipatuhi.

Di bagian kanan pelataran pertama situs itu terdapat tumpukan batu menjulang tinggi. Sayang, bentuk asli bangunan itu tidak dapat diketahui karena telah ambruk dimakan usia. Menurut Dahlan, juru kunci situs itu, konon bangunan itu sempat dijadikan tempat ibadah oleh Prabu Siliwangi, penguasa Kerajaan Pajajaran saat itu.

Peninggalan purbakala yang tampak mencolok di Situs Gunung Padang adalah bangunan berundak berukuran besar yang dikelilingi perbukitan. Bangunan itu dikonstruksi sederhana, dengan ribuan batangan batu tanpa ikatan. Bebatuan itu ditumpangkan pada lereng bukit bernama Gunung Padang, dengan elevasi 895 meter di atas permukaan laut.

Seusai mendaki bangunan berundak yang ditumpangkan pada lereng Gunung Padang, kita dapat menyaksikan halaman kedua pada situs tersebut. Halaman itu terdiri dari beberapa teras yang disusun berundak yang ditandai adanya susunan anak tangga.

Menurut Haris, teras-teras yang lebih tinggi digunakan dalam upacara-upacara yang berkaitan dengan pemujaan arwah. Di salah satu teras itu terdapat batangan batu yang berbentuk melingkar. Di tengah lingkaran itu terdapat batu berbentuk balok.

Diperkirakan, ratusan atau bahkan ribuan orang ikut ambil bagian dalam pembuatan situs itu, mulai dari membelah batu, mengangkut dan mengatur balok-balok batu. Penempatan dan perekayasaan pengaturan batu dilakukan oleh orang- orang ahli dalam arsitektur prasejarah, karena kemungkinan bangunan itu runtuh sangat besar jika dibangun tanpa keahlian.

Berdasarkan penampilan fisik dan lokasinya, Gunung Padang merupakan bangunan dari suatu gambaran sejarah manusia yang sedang dalam pencarian tempat bermukim yang permanen. "Ternyata kita berada di antara kelompok itu, memiliki sejumlah kesamaan dalam banyak segi kehidupan dengan kelompok-kelompok Austronesia yang telah bermukim tetap di kawasan Asia Tenggara-Pasifik-Madagaskar," tandas arkeolog Soejono.

BELAJAR sejarah memang tidak terbatas pada teks dalam buku. Akan lebih mengasyikkan jika kita belajar langsung ke tempat-tempat bersejarah itu sambil berwisata. Benak kita akan langsung berimajinasi tentang bagaimana kehidupan nenek moyang kita pada masa prasejarah itu. Bagaimana nenek moyang kita mampu menciptakan karya monumental dengan teknologi tinggi pada zamannya.

Sayangnya, proses pembelajaran di situs megalit itu jadi terganggu karena kondisi fisik bangunan berundak itu memprihatinkan. Halaman situs itu terlihat mulai tertutup ilalang. Ratusan batang batu di lokasi itu berserakan, bahkan banyak batu pada undakan yang telah hilang. "Jangankan pemugaran Situs Gunung Padang, biaya perawatan situs ini saja masih sangat minim," keluh Dahlan.

Seusai berkeliling, kita dapat keluar dari kawasan situs lewat jalan alternatif yang relatif lebih landai dibanding tangga batu buatan nenek moyang. Tepat di dekat anak tangga paling bawah terdapat bangunan permanen yang dapat digunakan sebagai tempat beristirahat para pelancong, dilengkapi dengan kamar mandi.

Matahari telah condong ke arah barat. Sinarnya menyirami bangunan berundak yang tinggal keping-keping sejarah megalitik. Siluet matahari sore itu menembus pepohonan yang ada di kawasan itu, dan menerpa bebatuan. Belum puas rasanya belajar sejarah kepada nenek moyang lewat karya mereka, namun waktu memaksa kita untuk kembali ke peradaban masa kini.

Sebelum meninggalkan lokasi situs, sempatkan diri menengok ke belakang. Bangunan berundak Situs Gunung Padang terlihat diam membisu. Suasana alam pedesaan makin memperkukuh kesunyian situs itu. Saksi sejarah megalitik itu pun kembali sendiri, berteman akrab dengan perbukitan bernama Gunung Padang. Ketika kaki melangkah, bangunan berundak itu seolah terus memanggil untuk kembali.... (EVY RACHMAWATI)

26.1.05

Batu ruhay pasukan ababil


Kanjeng Rosul saw lahir taun Gajah (abad ka-7 M), sabab cenah taun
harita kota Mekah dirurug ku pasukan Gajahna Abrohah. Salajengna
soldadu Abrohah diancurkeun ku datangna pasukan manuk ababil nu
ngaralung-alungkeun batu ruhay nu ngabebela, Mekah salamet.
Tah, pasukan manuk ababil eta teh naha bener2 pasukan manuk atawa
mangrupa hiji fenomena alam--nu kalawan kakawasaan Pangeran--meneran
nyalametkeun Mekah tina serbuan soldadu Abrohah? Sakumaha dugaan kana
saluyuna kajadian banjir jaman Nabi Nuh a.s. jeung kajadian leehna es
di kutub nu ngakibatkeun paparan Sunda tilelep...

Hehe, bet los-los ka dinya nya euy?! Numawi, keur pangangguran ieu
teh... Kamari lalayaran di internet, manggihan artikel ngeunaan dugaan
ayana kajadian dina mangsa kira abad ka-6/ka-7, nyaeta bituna gunung
di selat Sunda. Ayeuna aya Anak Krakatau, baheula aya Krakatau (bitu
abad ka-19). Samemehna Krakatau, beh dituna deui aya gunung nu leuwih
badag batan Krakatau, nu sigana bitu dina abad ka-6/7 tadi. Nya ku
bituna eta gunung, ayeuna aya Selat Sunda teh, da samemehna mah
(nalika gunung memeh-krakatau tea can bitu), Jawa Sumatra teh nyambung
keneh...

25.1.05

Tepungna Islam jeung Tradisi Sunda

Perjumpaan Islam dengan Tradisi Sunda



Oleh DADAN WILDAN

Ti meletuk datang ka meleték
ti segir datang ka segir deui
lamun dirobah buyut kami
lamun hujan liwat ti langkung
lamun halodo liwat ti langkung
tangsetna lamun buyut dirobah
cadas maléla tiis
buana larang, buana tengah, buana nyungcung
pinuh ku sagara

(Pikukuh Baduy)


AJARAN Islam di Tatar Sunda selain telah mengubah keyakinan seseorang dan komunitas masyarakat Sunda juga telah membawa perubahan sosial dan tradisi yang telah lama dikembangkan orang Sunda. Penyesuaian antara adat dan syariah seringkali menunjukkan unsur-unsur campuran antara Islam dengan kepercayaan sebelumnya. Hal tersebut dapat dipahami karena para penyebar Islam dalam tahap awal menggunakan strategi dakwah akomodatif dengan mempertimbangkan sistem religi yang telah ada sebelumnya.

Masuknya Islam ke Tatar Sunda

Abad pertama sampai keempat hijriyah merupakan fase awal proses kedatangan Islam ke Nusantara. Hal ini antara lain ditandai kehadiran para pedagang Muslim yang singgah di berbagai pelabuhan di Sumatra sejak permulaan abad ke-7 Masehi. Proses Islamisasi di tatar Sunda terjadi dan dipermudah karena adanya dukungan dari kedua belah pihak yakni orang-orang Muslim pendatang yang mengajarkan agama Islam dan golongan masyarakat yang menerimanya.

Di tatar Sunda, menurut naskah "Carita Parahiyangan" diceritakan seorang pemeluk agama Islam yang pertama kali di tatar Sunda adalah Bratalegawa putra kedua Prabu Guru Pangandiparamarta Jayadewabrata atau Sang Bunisora penguasa kerajaan Galuh. Ia memilih hidupnya sebagai saudagar besar; biasa berlayar ke Sumatra, Cina, India, Srilangka, Iran, sampai ke negeri Arab. Ia menikah dengan seorang Muslimah dari Gujarat bernama Farhana binti Muhammad. Melalui pernikahan dengan seorang Muslimah ini, Bratalegawa memeluk Islam, kemudian menunaikan ibadah haji dan mendapat julukan Haji Baharudin. Sebagai orang yang pertama kali menunaikan ibadah haji di kerajaan Galuh, ia dikenal dengan sebutan Haji Purwa.

Bila kedatangan Haji Purwa di tanah Sunda tahun 1337 Masehi dijadikan titik tolak masuknya Islam ke tatar Sunda, hal ini mengandung arti bahwa pertama, agama Islam yang pertama kali masuk ke tatar Sunda berasal dari Makah yang dibawa pedagang (Bratalegawa); dan kedua, pada tahap awal kedatangannya, agama ini tidak hanya menyentuh daerah pesisir utara Jawa bagian Barat, tetapi diperkenalkan juga di daerah pedalaman. Akan tetapi, agama itu tidak segera menyebar secara luas di masyarakat disebabkan tokoh penyebarnya belum banyak dan pengaruh Hindu dari Kerajaan Galuh dan Kerajaan Sunda Pajajaran terhadap masyarakat setempat masih kuat.

Sementara itu, di Karawang terdapat sebuah pesantren di bawah pimpinan Syekh Hasanuddin yang dikenal dengan sebutan Syekh Quro sebagai penyebar dan guru agama Islam pertama di daerah Karawang pada abad ke-15 sekira tahun 1416 sezaman dengan kedatangan Syekh Datuk Kahpi yang bermukim di Pasambangan, bukit Amparan Jati dekat Pelabuhan Muarajati, kurang lebih lima kilometer sebelah utara Kota Cirebon. Keduanya lalu menjadi guru agama Islam dan mendirikan pesantren masing-masing. Pesantren di Muara Jati semakin berkembang ketika datangnya Syekh Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati dari Mesir. Ia masih keturunan Prabu Siliwangi bermukim di Cirebon sejak tahun 1470 dan mulai menyebarkan syiar Islam ke seluruh wilayah tatar Sunda mulai dari Cirebon, Kuningan, Majalengka, Ciamis, Bogor, hingga Banten. Atas perjuangannya, penganut kepercayaan animisme, dinamisme, agama Hindu, dan Budha beralih menjadi Muslim, sedangkan penganut ajaran Sunda Wiwitan merupakan agama asli orang Sunda tersisihkan ke pedalaman Baduy.

Pada tahap awal, sebagaimana dilakukan Bratalegawa, penyebaran agama Islam rupanya baru berlangsung secara terbatas di lingkungan tempat tinggal para tokoh agama tersebut. Seiring terbentuknya pesantren-pesantren sebagai tempat pembentukan kader ulama atau para guru agama yang mendidik para santri, syiar Islam mulai berkembang pesat di tatar Sunda sejak pertengahan abad ke-15.

Dari Sunda Wiwitan ke Sunda Islam

Pada proses perkembangan agama Islam, tidak seluruh wilayah tatar Sunda menerima sepenuhnya, di beberapa tempat terdapat komunitas yang bertahan dalam ajaran leluhurnya seperti komunitas masyarakat di Desa Kanekes Kecamatan Leuwidamar Kabupaten Lebak yang dikenal dengan masyarakat Baduy. Mereka adalah komunitas yang tidak mau memeluk Islam dan terkungkung di satu wilayah religius yang khas; terpisah dari komunitas Muslim Sunda dan tetap melanggengkan ajaran Sunda Wiwitan.

Dasar religi masyarakat Baduy dalam ajaran Sunda Wiwitan adalah kepercayaan yang bersifat monoteis, penghormatan kepada roh nenek moyang, dan kepercayaan kepada satu kekuasaan yakni Sanghyang Keresa (Yang Maha Kuasa) yang disebut juga Batara Tunggal (Yang Maha Esa), Batara Jagat (Penguasa Alam), dan Batara Seda Niskala (Yang Maha Gaib) yang bersemayam di Buana Nyungcung (Buana Atas). Orientasi, konsep, dan pengamalan keagamaan ditujukan kepada pikukuh untuk menyejahterakan kehidupan di jagat mahpar (dunia ramai). Pada dimensi sebagai manusia sakti, Batara Tunggal memiliki keturunan tujuh orang batara yang dikirimkan ke dunia melalui Kabuyutan; titik awal bumi Sasaka Pusaka Buana. Konsep buana bagi orang Baduy berkaitan dengan titik awal perjalanan dan tempat akhir kehidupan. (Garna, 1992:5).

Menurut ajaran Sunda Wiwitan, perjalanan hidup manusia tidak terpisah dari wadah tiga buana, yaitu (1) Buana Nyungcung sama dengan Buana Luhur atau Ambu Luhur; tempat bersemayam Sang Hyang Keresa di tempat paling atas; (2) Buana Panca Tengah atau Ambu Tengah yang dalam dunia pewayangan sering disebut Mayapada atau Arcapada tempat hidup manusia dan mahluk lainnya; dan (3) Buana Larang sama dengan Buana Handap atau Ambu handap yaitu tempatnya neraka. Manusia yang hidup di Buana Panca Tengah suatu saat akan menemui Buana Akhir yaitu Buana Larang, sedangkan proses kelahirannya ditentukan di Buana Luhur. Antara Buana Nyungcung dan Buana Panca Tengah terdapat 18 lapisan alam yang tersusun dari atas ke bawah, lapisan teratas disebut Bumi Suci Alam Padang atau Kahyangan tempat Sunan Ambu dan para pohaci bersemayam.

Pada pelaksanaan ajaran Sunda Wiwitan di Kanekes, tradisi religius diwujudkan dalam berbagai upacara yang pada dasarnya memiliki empat tujuan utama: yaitu (1) menghormati para karuhun atau nenek moyang; (2) menyucikan Pancer Bumi atau isi jagat dan dunia pada umumnya; (3) menghormati dan menumbuhkan atau mengawinkan Dewi Padi; dan (4) melaksanakan pikukuh Baduy untuk mensejahterakan inti jagat. Dengan demikian, mantra-mantra yang diucapkan sebelum dan selama upacara berisikan permohonan izin dan keselamatan atas perkenan karuhun, menghindari marabahaya, serta perlindungan untuk kesejahteraan hidup di dunia damai sejahtera.

Masuknya agama Islam ke tatar Sunda menyebabkan terpisahnya komunitas penganut ajaran Sunda Wiwitan yang taat dengan mereka yang menganut Islam. Masyarakat penganut Sunda Wiwitan memisahkan diri dalam komunitas yang khas di pedalaman Kanekes ketika agama Islam memasuki kerajaan Pakuan Pajajaran. Hal ini dapat ditemukan dalam cerita Budak Buncireung, Dewa Kaladri, dan pantun Bogor versi Aki Buyut Baju Rambeng dalam lakon Pajajaran Seureun Papan.

Secara sadar, masyarakat Kanekes dengan tegas mengakui perbedaan mereka dengan masyarakat Sunda lainnya di luar Kanekes hanyalah dalam sistem religi, bukan etnis. Menurut Djatisunda (1992;2-3) mereka menyebut orang Sunda di luar Kanekes dengan sebutan Sunda Eslam (orang Sunda yang beragama Islam) dan dianggap sebagai urang Are atau dulur are. Arti dari istilah urang are atau dulur are dikemukakan Ayah Kaiti bekas seurat Tangtu Cikeusik bahwa: harti urang are ta, ja dulur are. Dulur-dulur na mah, ngan eslam hanteu sabagi kami di dieu (arti urang are yaitu dulur are. Saudara sih saudara, tetapi menganut agama Islam tidak seperti saya di sini). Ungkapan tersebut memperjelas pengakuan kedudukan etnis masyarakat Kanekes sebagai suku bangsa Sunda yang membedakannya hanyalah sistem religi karena tidak menganut agama Islam.

Madrais dan aliran perjalanan

Berbeda dengan masyarakat Baduy yang bertahan dengan tradisinya akibat desakan pengaruh Islam, perjumpaan Islam dengan budaya Sunda dalam komunitas lain malah melahirkan kepercayaan baru seperti yang dikembangkan Madrais di Cigugur Kabupaten Kuningan dan Mei Kartawinata di Ciparay Kabupaten Bandung.

Madrais semula dibesarkan dalam tradisi Islam kemudian melahirkan ajaran baru yang mengajarkan faham Islam dengan kepercayaan lama (pra-Islam) masyarakat Sunda yang agraris dan disebutnya sebagai Ajaran Djawa Sunda atau Madraisme pada tahun 1921. Ia menetapkan tanggal 1 Sura sebagai hari besar seren taun yang dirayakan secara besar-besaran antara lain dengan ngagondang (menumbukkan alu pada lesung sambil bernyanyi). Menurut ajarannya, Dewi Sri atau Sanghyang Sri adalah Dewi Padi yang perlu dihormati dengan upacara-upacara religius daur ulang penanaman padi serta ajaran budi pekerti dengan mengolah hawa nafsu agar hidup selamat. Di pihak lain, ia pun memuliakan Maulid Nabi Muhammad, tetapi menolak Alquran dengan anggapan bahwa Alquran yang sekarang tidak sah sebab Alquran yang sejati akan diturunkan menjelang kiamat.

Ajaran Madraisme ini, setelah Madrais meninggal dunia tahun 1939 dilanjutkan anaknya bernama Pangeran Tejabuana, serta cucunya Pangeran Jati Kusumah yang 11 Juli 1981 mendirikan Paguyuban Adat Cara Karuhun Urang (PACKU) mengharuskan para pengikutnya untuk melestarikan ajaran karuhun Sunda dan ke luar dari agama Islam.

Sementara itu, Mei Kartawinata (1898-1967) seorang tokoh kebatinan mendirikan aliran kepercayaan perjalanan yang dikenal dengan "Agama Kuring" (Agamaku) dan pendiri Partai Permai di Ciparay Kabupaten Bandung. Kisahnya, 17 September 1927, di Subang ia mendapat wangsit untuk berjuang melalui pendidikan, kerohanian, dan pengobatan melalui perkumpulan Perjalanan yang mengibaratkan hidup manusia seperti air dalam perjalanannya menuju laut dan bermanfaat sepanjang jalan. Dia menulis buku "Budi Daya" tahun 1935 yang dijadikan 'kitab suci' oleh para pengikutnya. Ajaran ini memadukan sinkretisme antara ajaran Sunda Wiwitan, Hindu, Budha, dan Islam.

Perjumpaan Islam dengan tradisi Sunda

Perjumpaan Islam dengan Budaya Sunda tidak melanggengkan tradisi lama seperti Sunda Wiwitan dan tidak memunculkan ajaran baru seperti Agama Djawa Sunda dan aliran kepercayaan Perjalanan adalah adaptasi antara Islam sebagai ajaran agama dengan tradisi budaya yang melekat di masyarakat. Hal ini dapat dipahami karena umumnya dalam tradisi budaya masyarakat Muslim di tanah Jawa oleh Mark R. Woodward disebut Islam-Jawa, adaptasi unsur-unsur tradisi dengan Islam tampak sekali, misalnya adaptasi budaya dalam penamaan bulan. Bulan-bulan dalam tradisi Jawa---termasuk juga Sunda---sebagian mengadaptasi bulan Hijriah yaitu Sura (Muharram), Sapar (Shafar), Mulud (Rabiul Awwal), Silih/Sawal Mulud (Rabiul Akhir), Jumadil Awal (Jumadil Awwal), Jumadil Akhir (Jumadil Akhir), Rejeb (Rajab), Ruwah (Sya'ban), Puasa (Ramadan), Sawal (Syawal), Kapit/Hapit (Zulkaidah), dan Rayagung/Raya Agung (Zulhijah).

Penyesuaian yang bijaksana atas sistem kalender Jawa Kuno (tahun Saka) ke dalam sistem kalender Islam dibuat tahun 1663 Masehi oleh Sultan Agung dari kerajaan Mataram yang menetapkan tahun 78 Masehi sebagai titik awal tahun Saka. Dengan sistem penanggalan baru tersebut, bulan pertama dalam kalender Jawa disamakan dengan bulan pertama kalender Islam yang sekarang menginjak tahun 1936 Saka (1424 H). Hal ini---menurut Bekki (1975) dalam "Socio Cultural Changes in a Traditional Javanese Village"---dimungkinkan dalam kehidupan beragama di Jawa, karena sikap lentur orang Jawa terhadap agama dari luar. Meskipun kepercayan animisme sudah mengakar sejak zaman dahulu, orang Jawa dengan mudah menerima agama Hindu, Budha, Islam, dan Kristen, lalu 'men-jawa-kan' semuanya.

Islamisasi di tatar Sunda selain dibentuk oleh 'penyesuaian' juga dibentuk melalui media seni yang digemari masyarakat. Ketika ulama masih sangat jarang, kitab suci masih barang langka, dan kehidupan masih diwarnai unsur mistis, penyampaian ajaran Islam yang lebih tepat adalah melalui media seni dalam upacara-upacara tradisi.

Salah satu upacara sekaligus sebagai media dakwah Islam dalam komunitas Sunda yang seringkali digelar adalah pembacaan wawacan dalam upacara-upacara tertentu seperti tujuh bulanan, marhabaan, kelahiran, dan cukuran. Seringnya dakwah Islam disampaikan melalui wawacan ini melahirkan banyak naskah yang berisi tentang kisah-kisah kenabian, seperti Wawacan Carios Para Nabi, Wawacan Sajarah Ambiya, Wawacan Babar Nabi, dan Wawacan Nabi Paras yang ditulis dengan huruf Arab, berbahasa Sunda dalam bentuk langgam pupuh, seperti Pupuh Asmarandana, Sinom, Kinanti, Dangdanggula, dan Pangkur. Untuk mengikat pendengar yang hadir, si pembaca naskah menguncinya dengan membaca sebuah kalimat: Sing saha jalma anu maca atawa ngadengekeun ieu wawacan nepi ka tamat bakal dihampura dosa opat puluh taun. Dengan khidmat, si pendengar menikmati lantunan juru pantun yang berkisah tentang ajaran Islam ini dari selepas isya hingga menjelang subuh.

Sejak agama Islam berkembang di Tatar Sunda, pesantren, paguron, dan padepokan yang merupakan tempat pendidikan orang-orang Hindu, diadopsi menjadi lembaga pendidikan Islam dengan tetap menggunakan nama pasantren (pasantrian) tempat para santri menimba ilmu agama. Pesantren ini biasanya dipimpin seorang ulama yang diberi gelar "kiai". Gelar kiai ini semula digunakan untuk benda-benda keramat dan bertuah, tetapi dalam adaptasi Islam dan budaya Sunda, gelar ini melekat dalam diri para ulama sampai sekarang. Di pesantren ini jugalah huruf dan bahasa Arab mendapat tempat penyebaran yang semakin luas di kalangan masyarakat Sunda dan menggantikan posisi huruf Jawa dan Sunda yang telah lama digunakan sebelum abad ke-17 Masehi.

Dalam sejumlah doktrin dan ritus tertentu, di Tatar Sunda pun berkembang ajaran Islam yang mengadopsi unsur tapa dalam agama Hindu dan diwarnai aspek-aspek mistis dan mitologis. Dari banyak unsur tradisi Hindu-Jawa yang tetap bertahan adalah kesaktian, praktik tapa, dan tradisi Wayang yang terakomodasi dalam jalan orang-orang yang mencari kesalehan normatif sekaligus melestarikan ajaran kebatinan.

Dalam bidang arsitektur, pembangunan arsitektur masjid dan rancang bangun alun-alun dan keraton diwarnai perpaduan antara budaya Sunda dengan Islam. Di setiap alun-alun kota kecamatan dan kabupaten sejak Sunan Gunung Jati berkuasa (1479-1568) dibangun Masjid Agung yang terletak di sebelah barat alun-alun, di samping pasar, keraton, serta penjara dengan penyesuaian fungsi dan posisinya sebagai bangunan pusat pemerintahan kerajaan berdasarkan Islam dengan masjid (bale nyungcung) sebagai simbol utama. Simbol bale nyungcung ini mengisyaratkan adaptasi tempat Sanghyang Keresa bersemayam di Buana Nyungcung (buana atas) dalam ajaran Sunda Wiwitan.

Beberapa contoh di atas, perjumpaan Islam dengan budaya Sunda telah melahirkan beberapa hal sebagai berikut:

Pertama, pertumbuhan kehidupan masyarakat Islam dengan adat, tradisi, budaya yang mengadaptasi unsur tradisi lama dengan ajaran Islam melalui pola budaya yang kompleks dan beragam telah melahirkan pemikiran, adat-istiadat, dan upacara ritual yang harmoni antara Islam dan budaya Sunda.

Kedua, berkembangnya arsitektur baik sakral maupun profan, misalnya masjid (bale nyungcung), keraton, dan alun-alun telah mengadaptasi rancang bangun dan ornamen lokal termasuk pra Islam ke dalam rancang bangun arsitektur Islam.

Ketiga, berkembangnya seni lukis kaca dan seni pahat yang menghasilkan karya-karya kaligrafi Islam yang khas, kesenian genjring dan rebana yang berasal dari budaya Arab, dan berbagai pertunjukkan tradisional bernapaskan Islam dengan mudah merasuki kesenian orang Sunda yang seringkali muncul dalam pentas seni dan pesta-pesta perkawinan.

Keempat, pertumbuhan penulisan naskah-naskah keagamaan dan pemikiran keislaman di pesantren-pesantren telah melahirkan karya-karya sastra dalam bentuk wawacan, serat suluk, dan barzanji yang sebagian naskahnya tersimpan di keraton-keraton Cirebon, museum, dan di kalangan masyarakat Sunda, dan

Kelima, berbagai upacara ritual dan tradisi daur hidup seperti upacara tujuh bulanan, upacara kelahiran, kematian, hingga perkawinan yang semula berasal dari tradisi lama diwarnai budaya Islam dengan pembacaan barzanji, marhabaan, salawat, dan tahlil.

Karena itulah, tidak bisa dimungkiri bahwa perjumpaan Islam dengan budaya dan komunitas masyarakat di wilayah tatar Sunda telah melahirkan tiga aspek religiusitas yang berbeda. Pertama, terkungkungnya satu wilayah religius yang khas dan terpisah dari komunitas Muslim Sunda di Kanekes (Baduy) yang melanggengkan ajaran Sunda Wiwitan; kedua lahirnya tradisi, budaya, dan religi baru yang mencampurbaurkan antara ajaran Islam dengan tradisi sebelumnya seperti yang dikembangkan dalam Ajaran Jawa Sunda di Cigugur Kuningan dan aliran kebatinan Perjalanan di Ciparay Kabupaten Bandung; dan ketiga terciptanya kehidupan harmoni dan ritus keagamaan yang berasal dari Islam dengan tradisi yang telah ada dan satu sama lain saling melengkapi.

Terlepas dari itu semua, pemahaman pelaksanaan adaptasi dan harmoni antara Islam sebagai ajaran agama dengan tradisi Sunda sebagai adat istiadat warisan budaya lama disadari akan menimbulkan pemaknaan yang berbeda. Di satu pihak ada yang menganggap bahwa berbagai upacara tradisi itu adalah adat istiadat yang perlu tetap dilestarikan dan sejalan dengan agama Islam, bahkan menjadi 'sunah', sebaliknya di pihak lain ada yang beranggapan bahwa ajaran Islam yang diwarnai oleh tradisi dan budaya Sunda adalah bentuk perbuatan bidah.

Penulis adalah staf pengajar FKIP Universitas Galuh Ciamis.

Artikel ini Dimuat di Harian Pikiran Rakyat Rabu, 26 Maret 2003

Ngadongéng...

Sanggeus sababaraha kali uruk salam taya nu némbalan, kuring terus mapay ka gigir, ka pipir, sugan nu boga imah keur di tukang.
“Punten…” cek teh pondok.
“Aeh, mangga. Saha téa ieu téh?” cek eta budak.
“Pa Waskita aya, Néng?” cek kuring.
“Oh, aya. Mangga linggih, di payun waé,” cek budak téh daréhdéh. Léos kuring ka hareup deui, bus ka eta imah saenggeusna dipangmukakeun panto ku éta budak. Gék kuring diuk, terus sakedapan mah rurat-rérét ka sakuriling rohangan tamu. Bilikna kosong molongpong, teu ieuh aya hihias atawa poto nu dipiguraan. Keur kitu aya nu norojol, jangkung seseg. Teu béda jeung keur ngorana, malah kaciri leuwih wibawa. Enya, teu kaciri aya robahna, iwal huisna.
“Saha Kisilah téh?” cek manéhna sanggeus diuk. Kuring teu langsung ngajawab, keur anteng neuteup anteb beungeutna.

---hanca

Carita Gunung Guntur

Ayeuna rek nyaritakeun asal mulana Gunung Agung, atawa Gunung Guntur nu matak urug.

Ari asalna éta gunung, disebutna lain Gunung Guntur atawa Gunung Agung, tapi Gunung Kutu ngaranna.

Waktu Sunan Rangga Lawé, jeneng ratu di Timbanganten, nagarana di Korobokan, kagungan sadérék istri hiji, jenenganana Maharaja Inten Déwata; éta téh rakana Sunan Rangga Lawé anu saibu sarama.

Ari éta Maharaja Inten Déwata, henteu kersa calik di nagara, kersana midusunan baé, ngan aya saurang anu ngiring ka Maharaja Inten Déwata, pangasuhna lalaki enggeus kolot kacida, ngaranna Batara Rambut Putih.

Kacarios Sunan Rangga Lawé, keur dideuheusan ku para mantri, ponggawa jeung para abdi-abdi kabéh, Papatih unjukan, "Jisim abdi mendak pisitueun teu kinten pisan saena, ku emutan, upami geus didamelan situ teh, tegalan sadayana tangtos seep dianggo sawah. Ari nu kagungan éta pisitueun, raka Gusti, Maharaja Inten Déwata."

Sunan Rangga Lawé ngadawuh, "Gampang, lamun kitu mah." Lajeng miwarang hiji mantri, dawuhanana, "Manéh, ayeuna kudu leumpang ngadeuheusan ka Aceuk, dipiwarang ku aing, nyuhunkeun éta pisitueun bade ditambak, dijieun situ, sabab réa pihasileunana. Los, manéh geura leumpang." Kacaturkeun éta mantri ka bumi Maharaja Inten Déwata, cong nyembah, bari gék diuk. Mariksa Maharaja Inten Déwata ka éta mantri, "Dipiwarang naon ku Gusti manéh?"

Mantri unjukan, "Abdi dipiwarang ku rai gamparan manawi terang manah, éta pisitueun disuhunkeun bade didamel situ."

Wangsulna Maharaja Inten Déwata, "Unjukkeun ka gusti manéh, éta pisitueun hamo dihaturkeun, sabab aing euweuh deui nya kabetah di tanah Korobokan teh, ngan di dieu pisan. Lamun éta dijieun situ, tangtu kakeueum lembur aing. Los, mantri geura balik." Ti dinya mantri tuluy wangsul.

Barang datang ka nagara, tuluy diunjukkeun sadayana, sadawuhan Maharaja Inten Déwata; dawuhan Sunan Rangga Lawé, "Kajeun ari teu dilelerkeun mah."

Heubeul ti heubeul, réa abdi-abdi nu laleutik arunjukan ku manéh, hayang didamel éta situ, supaya abdi-abdi baroga sawah kabéh.

Kacarios Sunan Rangga Lawé, dua tilu kali miwarangan neda éta pisitueun, henteu baé dilelerkeun ku rakana, henteu tiasa maksa Sunan Rangga Lawé, tina sabab isin ku raka. Aya sahiji mantri anu pangkolotna, unjukan ka Sunan Rangga Lawé, "Abdi mah heran ku Gusti, henteu nyaah ka abdi-abdi anu laksa rebu, bet ajrih ku raka istri, ari pamiraos jisim abdi, Gusti téh jeneng Ratu di Timbanganten, teu aya nu leuwih ageung ti Gamparan, sanajan raka oge kaereh kajiwa bumi ku Gamparan. Naha Gamparan beunang dihalang-halang, lamun kitu mah, di Timbanganten téh aya ratu dua, hiji istri hiji pameget."

Sunan Rangga Lawé sanggeus ngadangu piunjukna mantri, langkung-langkung benduna, ngaraos yen enya éta sapihatur mantri, lajeng ngadawuh, "Ayeuna kumpulkeun abdi-abdi kabéh, pada marawa pacul reujeung parabot nu rek nyitu poé ayeuna, urang tambak."

Abdi-abdi, sanggeus meunang timbalan, sumawonna anu ngadenge, nu teu ngadenge oge nyeueung nu marawa pacul jeung pangali, jelema rewu laksa budal ti lemburna, nuturkeun ka baturna nu loba. Kacarios Sunan Rangga Lawé angkat kuanjeun, barang sumping ka pisitueun, tuluy nimbalan, saurna, "Geura prak geura pigawé."

Gancaning carita, éta situ anggeus ditambakna. Malah-malah caina enggeus leber ka lembur, Maharaja Inten Déwata kaliwat ngenes manahna, kusabab raina nganggo sawenang-wenang. Maharaja Inten Déwata asup ka bumi, nyandak kekemben hiji, raksukan hiji. Lajeng angkat ngajugjug ka sahiji gunung leutik, anu deukeut ka Gunung Kutu, anu katelah ayeuna Gunung Putri, sabab dianggo eureun ku Putri Maharaja Inten Déwata.

Sanggeus aso, lajeng ngadawuh ka Batara Rambut Putih, “Ayeuna, Aki nyieun jolang eukeur wadah cai jeung nyokot taneuh sakeupeul, aing deuk naék ka Gunung Kutu.”

Matur Batara Rambut Putih, “Gusti, rek ngersakeun naon angkat ka Gunung Kutu?”

Nyaur deui Maharaja Inten Déwata, “Teu dék naon-naon, aing mah ngan hayang nyaho baé ti éta luhur gunung.”

Batara Rambut Putih tuluy nyieun jolang, sarta dieusian cai jeung taneuh sakeupeul. Lajeng Maharaja Inten Déwata naék ka Gunung Kutu. Sasumpingna ka puncak éta gunung, tuluy éta taneuh sakeupeul diawur-awur dina luhur gunung reujeung cai anu sajolang téa dibahekeun. Sanggeus dibahekeun, Maharaja Inten Déwata lungsur ti luhur Gunung Kutu ka Gunung Putri. Batara Rambut Putih henteu tinggal. Pada harita keneh, poék mongkleng buta rata di Tanah Timbanganten.

Henteu lila jumegur dina pucuk Gunung Kutu, seuneu ninggang kana imah, loba jelema nu paraéh, sato hewan pararaéh, imah kahuru; liwat saking ruksakna nagara Korobokan. Jelema anu henteu katinggang, anu jauh ti nagara Korobokan, kalabur sakira-kira teu katepi ku seuneu jeung ku batu. Gunung Kutu beuki gedé seuneuna, beuki loba batuna anu kaluar, malah gunung anu antel ka Gunung Kutu pada obah kabéh.

Dina waktu harita, jalma-jalman menak, kuring, sakalangkung pisan sarusaheunana, tina manggih bahla sakitu gedéna, dina jero opat puluh poé, opat puluh peuting, henteu ngingetkeun kana salamet, ingétanana anu araya, saperti kiamat baé, tina ningal sakitu poharana loba pisan karuksakanana. Malah dina waktu harita, abdi-abdi nu henteu katinggang urug, kalaburna masing-masing nu ngétan, ngulon, ngalér, ngidul, geus teu ngurus raja bandana, saperti nu kabur ka Bandung, ka Cianjur, ka Karawang jeung ka séjén nagara; éta réa pisan nu teu baralik deui ka nagara Korobokan. Tuluy baé ngalumbara, nepi ka turun tumurun ka anak incuna; ari nagara Timbanganten mah, ngan dijieun itung-itung nagara pusaka baé, turunan ti karuhunna.

Sunan Rangga Lawé enggeus ngaraos salirana balai sakieu gedéna, tangtu ti rakana, ti Maharaja Inten Déwata datangna. Énggal kaluar Sunan Rangga Lawé ti nagara Korobokan, dék néangan rakana Maharaja Inten Déwata. Ngajugjug ka Gunung Putri, katingali Maharaja Inten Déwata ngadeg dina batu. Sunan Rangga Lawé gagancangan moro ka rakana. Sanggeus patepang, Sunan Rangga Lawé ngarangkul kana sampéanana, tobat sarta nangis, neda dihampura sagala kalepatanana. Tuluy dihampura ku Maharaja Inten Déwata. Tanda geus dihampura, seuneu anu hurung pareum, sora anu pating beledug répéh, batu anu cara hujan datangna tina luhur gunung leungit kabéh. Sanggeus kitu, Sunan Rangga Lawé matur ka rakana, “Sumangga, Aceuk, ayeuna urang mulih ka Nagara.”

Maharaja Inten Déwata nyaur, “Aceuk mo balik deui ka Nagara, deuk nurutkeun kahayang ati baé, jeung baring supagi ieu gunung jadi deui cara kieu petana, nyebut baé ngaran Aceuk jeung ngaran Aki Batara Rambut Putih, salamet mo aya kitu kieu, masih jadi oge.”

Maharaja Inten Déwata jeung Batara Rambut Putih sanggeus sasauran musna ti payuneun Sunan Rangga Lawé; henteu kacarios ka mana angkatna atawa di mana calikna.

Sanggeus Maharaja Inten Déwata musna, Sunan Rangga Lawé mulih ka nagara Korobokan. Tapi Sunan Rangga Lawé, sasumpingna ka Nagara, hanteu weleh nyandang sesah, tina sabab abdi-abdina ampir seep sadayana; salianna tina katindih ku urug, nyaeta pada kalalabur kabéh, parindah ka séjén nagara, ka séjén tempat. Jadi di nagara Korobokan roncong teu aya jelema, sumawonna sasatoan, kuda, munding, embe, domba, atawa hayam, seep paraéh katinggang urug. Ti wates éta, Gunung Kutu dilandih ngaranna, sawareh anu nyebut Gunung Agung, sawareh deui anu nyebut Gunung Guntur.

Ari gunung leutik, urut Sunan Rangga Lawé tobat ka rakana, katelah nepi ka ayeuna ngaranna Gunung Putri. Ari situ, anu disituan ku Sunan Rangga Lawé, katelah ngaranna disebut Situ Taman, di Timbanganten.

Salebeting carita, jalma nu paéh mangsa harita, katinggang ku batu, kakubur taneuh jeung keusik, jeung katinggang seuneu, réana aya sawelas rewu, ari rupa sato hewan tujuh rewu. Ari nagara Korobokan jeung kampung-kampungna, anu katutup ku taneuh jeung ku batu, nu katelah ayeuna Tegal Urug. Ari nagara Timbanganten, nyaeta dialihkeun ka Tarogong, anu nelah nepi ka jaman ayeuna Distrik Tarogong; éta nagara pusaka ti jaman baheula.

Sakitu cariosna Gunung Kutu, nu matak kaluar seuneu nepi ka jaman ayeuna.

Sumber: Volksalmanak Soenda (1920)