3.2.05

Pamarentahan Islam


Kuring mah katarik ku pamanggih ngeunaan teu "keuna"na konsep agama
(nyeta Islam) pikeun pamarentahan, ambeh gampang paseana, nya Bah Willy? hehe...

Mun urang nyokot conto2 pamarentahan nu sebut wae---sugan rada-rada---ngawakilan Islam, cikan urang "evaluasi"
Arab Saudi (AS); kuring teu panuju mun pamarentahan AS ieu dianggap
saluyu jeung pamarentahan Islam. Kahiji masalah raja, Nabi SAW mah
lain raja. Kapamingpinan Islam ti Nabi ka Halipah nu opat, disebut
demokrasi lain, atuh jajauheun ka monarki.
Afganistan jaman Taliban; kaleuleuwihi mun Pamarentahan Islam
prakprakanana nepi ka ngurus masalah ngurud jangot mah...
Iran; duka tah ieu mah, kabeneran kuring teu manggih hal nu nyolok
nyimpang/kaleuleuwihi. Ceuk nu ngadukungna mah memang ieu cenah nu
ngaharib-harib pamarentahan Islam teh. Pamingpin/Imam dipilih ti
golongan ajengan/ulama anu memang geus kauji.
Indonesia; no comment

Tapi da nu ngaranna pulitik & kakawasaan mah loba unak-anikna, aya

kongkalikong (sama dengan kongkong), intrik2 jeung sajabana. Ngan
kuring mah nekenkeun teh hiji hal. Yen nu nyimpang, mun tea mah
nyimpang, lain ajaranana, tapi nu prak migawena. Nyimpang ieu bisa
alatan kapangaruhan (malah disetir) ku kapentingan batur atawa panatik
kana salasahiji golongan (alatan kurang jembarna elmu meureun lamun
dirunut leuwih jauh mah), atawa kasetir ku hawa napsu kakawasaan diri
sorangan/golongan. Jadi, lain konsep Islamna.

Terus deuih, lamun urang nyarita ngeunaan konsep Islam. Aya tanda

tanya nu rada gede dina sirah kuring, ari konsep pamarentahan Islam
teh nu kumaha? Geus aya kitu citak bulaona anu bener2 geus diaku
saluyu jeung ajen-inajen Islam? Asana mah acan. Eta oge kuring kungsi
ngadenge, draf konstitusi, hukum & sistim pamarentahan Islam teh keur
dikeureuyeuh, mung teu acan rengse keneh. Komo deuih taun kamari
kabejakeun aya "counter" atawa (lemesna) koreksi tapsiran dalil-dalil
utamana nu patali jeung wanoja.

Mun kudu2 teuing mah milih, bawarasa panuju jeung Kang Rawyani (pami teu lepat): demokrasi nu diwates. Lain diwates meureun, da manusa mah mun diwates teh sok luncat ngaleuwihan wates wangen. Nu diaping, nyaeta nu diaping ku wahyu.

Nu puguh (puguh teu puguh), bawarasa yen Gusti Alloh geus nurunkeun
tungtunan2 nu sipatna prinsip pikeun ngaping urang hirup di dunya, pon
kitu deui dina hal pamarentahan. Tina prinsip2 eta meureun urang kudu
ngagali naon2 aturan nu kudu ditanjeurkeun dina pamarentahan Islam: ti
rumusan konstitusi (mun memang aya) nepi ka bubuk leutikna, misalna
ngeunaan miceun runtah kana wadah/tempatna. Kapan hirup beresih &
berseka teh parentah Rosul...

29.1.05

Situs Gunung Padang


Situs Gunung Padang di Kampung Gunung Padang dan Kampung Panggulan, Desa Karyamukti Kecamatan Campaka, Cianjur, merupakan situs megalitik berbentuk punden berundak yang terbesar di Asia Tenggara. Ini mengingat luas bangunan purbakalanya sekitar 900 m2 dengan luas areal situs sendiri kurang lebih sekitar 3 ha.


Keberadaan situs ini peratama kali muncul dalam laporan Rapporten van de oudheid-kundigen Dienst (ROD), tahun 1914, selanjutnya dilaporkan NJ Krom tahun 1949. pada tahun 1979 aparat terkait dalam hal pembinaan dan penelitian bend cagar budaya yaitu penilik kebudayaan setempat disusul oleh ditlinbinjarah dan Pulit Arkenas melakukan peninjauan ke lokasi situs. Sejak saat itu upaya penelitian terhadap situs Gunung Padang mulai dilakukan baik dari sudut arkeologis, historis, geologis dan lainnya.

Bentuk bangunan punden berundaknya mencerminkan tradisi megalitik (mega berarti besar dan lithos artinya batu) seperti banyak dijumpai di beberapa daerah di Jawa Barat. Situs Gunung Padang yang terletak 50 kilometer dari Cianjur konon merupakan situs megalitik paling besar di Asia Tenggara. Di kalangan masyarakat setempat, situs tersebut dipercaya sebagai bukti upaya Prabu Siliwangi membangun istana dalam semalam.

Dibantu oleh pasukannya, ia berusaha mengumpulkan balok-balok batu yang hanya terdapat di daerah itu. Namun, malam rupanya lebih cepat berlalu. Di ufuk timur semburat fajar telah menggagalkan usaha kerasnya, maka derah itu kemudian ia tinggalkan. Batu-batunya ia biarkan berserakan di atas bukit yang kini dinamakan Gunung Padang. Padang artinya terang.

Punden berundak Gunung Padang, dibangun dengan batuan vulkanik masif yang berbentuk persegi panjang.

Bangunannya terdiri dari lima teras dengan ukuran berbeda-beda. Batu-batu itu sama sekali belum mengalami sentuhan tangan manusia dalam arti, belum dikerjakan atau dibentuk oleh tangan manusia.

Balok-balok batu yang jumlahya sangat banyak itu tersebar hampir menutupi bagian puncak Gunung Padang. Penduduk setempat menjuluki beberapa batu yang terletak di teras-teras itu dengan nama-nama berbau Islam. Misalnya ada yang disebut meja Kiai Giling Pangancingan, Kursi Eyang Bonang, Jojodog atau tempat duduk Eyang Swasana, sandaran batu Syeh Suhaedin alias Syeh Abdul Rusman, tangga Eyang Syeh Marzuki, dan batu Syeh Abdul Fukor.

Menyusun Keping-keping Sejarah Megalitik

Sabtu, 27 September 2003

SITUASI Gunung Padang ibarat keping dari mosaik masa megalitik dunia. Berdasarkan penampilan fisik dan lokasinya, konon Gunung Padang merupakan gambaran sejarah manusia yang sedang dalam pencarian tempat hunian yang tetap dan memadai bagi kelompoknya. Situs itu menjadi bukti bahwa Indonesia merupakan bagian ujung Pasifik (Kepulauan Paskah) dan Madagaskar, dan akhirnya bermukim secara tetap.

Namun, hingga kini sejarah Situs Gunung Padang masih diperdebatkan di berbagai kalangan masyarakat. Kendati demikian, lokakarya bertema "Pelestarian dan Pengembangan Kawasan Situs Gunung Padang", di Cipanas, Cianjur, Agustus 2002 lalu, akhirnya menghasilkan kesepakatan bahwa situs itu merupakan peninggalan purbakala yang sangat langka, baik dalam struktur maupun bahan pembentuknya. Situs itu juga merupakan monumen penting yang memperantarai tradisi megalitik dalam rantai Pasifik, mulai dari Madagaskar hingga Pulau Paskah.

Sayangnya, saat ini kondisi situs Gunung Padang tampak kurang terawat. Sebagian anak tangga batu menuju situs itu sudah hilang. Kawasan itu juga ditumbuhi ilalang hingga menutupi sebagian bangunan situs tersebut. Selain itu, sebagian bangunan batu telah hancur berantakan. Bebatuan berserakan, atau terlihat ditumpuk begitu saja.

Berdasarkan catatan arkeolog Widodo, kerusakan batu bahan bangunan terjadi secara fisik, seperti mengelupas, retakan, pecah, dan secara kimiawi seperti pertumbuhan ganggang dan jamur kerak. Tidak tampak pertumbuhan mikroorganisme lumut, karena struktur batuannya kompak. Batu-batu yang mengalami proses pelapukan akan makin cepat lapuk, sehingga perlu dikonservasi secara optimal agar dapat bertahan lama. Batu-batu yang pecah dan patah perlu disambung kembali dan dapat digunakan sebagai acuan pekerjaan penataan batuan.

Untuk itu, Mundardjito dari Universitas Indonesia mengingatkan, perlu diputuskan seberapa jauh didapatkan data untuk mengembalikan situs itu pada bentuk semula. Karena, banyak bagian dari fitur yang miring sehingga dapat ditegakkan kembali, tetapi juga banyak yang sudah jatuh. Bahkan, bentuk denahnya tidak jelas. "Keterbatasan data merupakan hambatan bagi pelestarian yang harus mendasarkan pada prinsip otentisitas," ujarnya.

Satuan-satuan batangan batu yang menjadi penyusun konstruksi bangunan berundak itu ditancapkan lurus pada dinding-dinding teras tanpa diikat satu sama lain sehingga antara satu batangan dengan batangan lain terdapat rongga. Akibatnya, struktur yang tidak homogen ini tidak mampu menerima beban secara merata. Apalagi jika tanah yang mengisi rongga antarbatangan batu itu terlepas dari posisinya karena dikikis aliran air sungai.

"Karena itu, stabilitas bangunan di bagian dinding, terutama teras pertama, sangat mengkhawatirkan. Sejumlah batangan batu letaknya miring, melesak, longsor, atau jatuh," tandas Mundardjito.

Situs itu menjadi rentan terhadap erosi karena faktor kemiringan lereng, jenis dan sifat tanah, ketiadaan sistem drainase, keadaan iklim lingkungan, dan sistem penggarapan lahan oleh penduduk. "Jadi, air permukaan yang mengalir di situs tersebut perlu dirancang pengubahan alirannya sehingga tidak mengikis permukaan tanah pada lereng-lereng dan halaman- halaman," tambah Mundardjito.

Selain itu, kelerengan permukaan tanah bukit itu cukup terjal, khususnya di lereng timur yang mendukung teras bangunan halaman satu. Akibatnya, gaya penggerak menjadi lebih besar sehingga situs itu rawan longsor. Apalagi lereng bukit dan permukaan tanah bangunan berundak ini tidak dilapis tanaman penutup, sehingga makin dikikis air hujan.

Kegiatan penebangan pohon kayu di atas bukit, dan yang menyeretnya melalui halaman-halaman serta tangga-tangga batu telah memperparah kondisi keterawatannya. Belum lagi kegiatan petani peladang yang dalam memperluas lahan garapannya telah meratakan teras-teras tanah di kaki bangunan dan mencabuti batu-batu yang ada. Karena itu, batas antarteras itu tidak ada, dan akibatnya mempercepat aliran air yang mengerosi permukaan tanah.

HASIL lokakarya Situs Gunung Padang merekomendasikan untuk mengangkat secara sistematis dan terencana monumen situs itu sebagai bagian penting rantai megalitik Pasifik. Sebagai salah satu bangunan berundak yang terbesar di kawasan ini, pemerintah seharusnya memprakarsai kerja sama kebudayaan dengan sejumlah negara di kawasan Pasifik melalui tema tradisi megalitik. Upaya ini dapat memperkokoh posisi Indonesia, khususnya Jawa Barat, dalam konstelasi politik kebudayaan pada era Pasifik.

Selain itu, perlu segera disusun rencana induk pengembangan yang memperhatikan asas-asas keberlanjutan, bersandar pada masyarakat, menggali makna arkeologis, memperhitungkan ekonomi lingkungan, mempertinggi nilai saing produk wisata, serta berfungsi sebagai wadah pembelajaran budaya.

"Jadi, perlu dilakukan persiapan sosial dan penyesuaian budaya secara bertahap pada masyarakat setempat maupun berbagai komunitas dan stakeholder terkait," kata Ketua Tim Lokakarya Pelestarian dan Pengembangan Situs Gunung Padang Dr Tony Djubiantono.

"Tampaknya cita-cita ini masih perlu penanganan serius, antara lain keletakannya, transportasi, keadaan lingkungan, masyarakat, dan cara penataan tinggalan itu sendiri dalam bentuk pemugaran dan pengamanannya," tandas Kepala Pusat Penelitian Arkeologi Nasional Haris Sukendar. Menurut dia, sektor pendukung berupa sarana transportasi dan rumah-rumah informasi merupakan hal penting yang disertai penanganan situs secara fisik.

"Kami khawatir terjadi kerancuan dalam pemanfaatannya, sehingga pengungkapan nilai arkeologis maupun nilai keserasian tidak tercapai. Jadi, zona inti, zona penyangga harus ditentukan secara tepat sehingga izin pendirian bangunan rumah untuk rumah-rumah tinggal, hotel, warung, berdiri pada posisi tepat," ujarnya.

Ditambahkan, pemugaran kembali teras berundak Gunung Padang perlu dilakukan mengingat beberapa bagian bangunan telah runtuh. Pemugaran ini perlu dilakukan pada beberapa bagian, antara lain jalan masuk, dinding atau tembok penyangga bangunan bagian depan dan samping, halaman lantai pertama, bangunan pada lantai satu dan dua, dan dinding tembok pemisah lantai satu dan dua.

"Penggunaan batu untuk pemugaran harus menggunakan bahan yang sama, yaitu balok-balok batu persegi empat panjang, sesuai bahan yang dipakai untuk pembangunan teras berundak sendiri," tandasnya.

Untuk itu, pemugaran perlu dibarengi usaha pembuatan taman sebagai daya tarik. Pengadaan sarana penunjang, yaitu aliran listrik perlu dipercepat.

"Situs Gunung Padang perlu ditata sejalan dengan peruntukannya agar dapat diatur, dikendalikan, dan diberi fungsi tepat sesuai dengan wawasan pemanfaatan, wawasan preservasi situs, dan wawasan konservasi bangunan," tandasnya.

Menurut Haris, zona satu merupakan daerah yang berfungsi melindungi bangunan dan tinggalan arkeologi lain yang ada di lahan ini, serta memberi kemungkinan bagi pengunjung memandang bangunan tanpa terhalang. Zona ini mutlak harus dibebaskan dari kegiatan penggarapan lahan pertanian oleh penduduk setempat sehingga erosi lebih lanjut dapat dicegah atau dihambat. Zona seluas 17.504 meter persegi dan telah menjadi milik pemerintah itu merupakan daerah inti karena terdapat banyak peninggalan arkeologi yang perlu diteliti dan dilestarikan.

Ditambahkan, zona kedua seluas 45.000 meter persegi dapat dijadikan daerah penyangga zona inti. Bagian pertama, lahan hijau tempat tetumbuhan dapat ditanam sebanyak mungkin untuk memberi kesejukan dan panorama hijau bagi pengunjung. Bagian kedua, lahan untuk memberikan fasilitas pelayanan umum. "Perlu dipikirkan pendirian museum situs, lapangan parkir, kios cenderamata, dan bumi perkemahan," kata Mundardjito.

Zona ketiga seluas 240.000 meter persegi merupakan zona di mana masih terdapat sisa teras batu yang masih utuh, meskipun kuantitatif tidak terlalu banyak. "Zona ini dapat dikembangkan menjadi daerah terbatas dalam arti di beberapa lokasi penduduk masih dapat memanfaatkan lahan, tetapi harus memperhatikan upaya pengamanan situs. Di sini dapat dibangun berbagai fasilitas bagi pengunjung, seperti kantor informasi, tempat istirahat, dan parkir kendaraan," katanya.(EVY)

Menyusuri Jejak Leluhur di Situs Gunung Padang

Sabtu, 27 September 2003

KALA memasuki kawasan Situs Megalit Gunung Padang, roda waktu seakan berputar mundur kembali ke masa silam, zaman di mana sejarah belum tercatat. Bangunan batu berundak di Desa Karyamukti, Kecamatan Campaka, sekitar 45 kilometer arah selatan Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, mengundang kita untuk mereka-reka tradisi macam apakah yang mampu melahirkan karya monumental di atas perbukitan itu.

JIKA masa pemerintahan Syailendra meninggalkan jejak bernama Candi Borobudur yang tercatat sebagai salah satu dari tujuh keajaiban dunia, Situs Gunung Padang patut dicatat sebagai saksi sejarah zaman keemasan megalitik. Saat ini, situs bersejarah itu boleh dibilang merupakan peninggalan masa megalitik terbesar di Asia Tenggara, dan menjadi bagian dari jalur kebudayaan masyarakat zaman megalitik di Asia dan Pasifik.

Situs Gunung Padang juga merupakan obyek wisata budaya nan eksotis. Akses menuju ke lokasi situs itu bisa ditempuh dengan menggunakan kendaraan bermotor. Lebih asyik lagi jika kita menggunakan kendaraan dengan penggerak empat roda yang biasa digunakan untuk jalanan berbatu dan terjal.

Dari Jakarta, kita dapat menempuh perjalanan melewati kawasan Puncak sambil menghirup udara segar pegunungan. Sepanjang perjalanan kita dapat menikmati hamparan perkebunan teh dan sayur-mayur yang ada di tepian jalan. Setiba di pusat Kota Cianjur, yang juga dikenal sebagai kota tauco, perjalanan dilanjutkan ke bagian selatan Cianjur yang medannya berliku-liku.

Setelah menempuh perjalanan sekitar 30 kilometer ke arah selatan Kabupaten Cianjur, akhirnya kita memasuki Kecamatan Campaka. Sekitar 200 meter dari persimpangan jalan, kita tidak lagi menjumpai jalanan beraspal yang mulus. Tubuh akan terguncang-guncang di dalam kendaraan saat melewati jalan berbatu, yang sebagian hanya dilapisi tanah, hingga ke lokasi situs dengan jarak sekitar 15 kilometer.

Selain itu terdapat beberapa percabangan jalan yang membingungkan pengunjung situs bersejarah tersebut. Hal ini disebabkan belum adanya penunjuk arah menuju lokasi situs.

PERJALANAN mencapai Situs Gunung Padang serasa menuju ujung langit. Melelahkan, karena medan yang terjal dan berliku. Mendebarkan, karena kita dibuat tak sabar menanti kejutan masa purba. Makin dekat ke tujuan, daya pikat situs yang menjadi mata rantai budaya masa megalitik di Asia Pasifik itu terasa makin kuat.

Keletihan badan serasa sirna begitu membasuh muka dan kedua tangan dengan air yang mengalir di dalam ceruk dari batu. Kejernihan airnya terasa menyejukkan jiwa dan membangkitkan semangat baru untuk segera memasuki kawasan situs itu. Sejumlah pengunjung terlihat mengambil air dari ceruk itu sebagai tanda mata.

Ternyata, perjalanan belum berakhir. Untuk mencapai situs itu kita masih harus berjalan menaiki undakan batu yang konon memiliki seribu anak tangga dengan medan curam. Namun, sebagian anak tangga itu telah hilang karena dimakan usia sehingga menyulitkan pengunjung melewatinya. Pengunjung juga dapat melalui anak tangga buatan yang terletak di sebelah kanan gerbang kawasan itu dengan undakan tidak terlalu curam.

Begitu menapaki anak tangga terakhir, keletihan berubah menjadi perasaan takjub saat menyaksikan situs megalit itu. Kekuatan dahsyat dari masa lampau terpancar dari bangunan berundak di kawasan itu. Ternyata, nenek moyang kita telah mampu menghasilkan karya monumental yang diperkirakan merupakan situs peninggalan sejarah terbesar di Asia Tenggara pada zaman megalit.

Situs peninggalan sejarah itu terdiri dari bangunan berundak-undak yang berukuran panjang 118 meter dan lebar 40 meter pada teras pertama. Bangunan itu terdiri dari lima tingkatan, yang makin ke atas luasnya makin menyempit.

Struktur keseluruhannya adalah struktur terbuka, terbagi atas teras-teras berundak yang terbuka serta undak-undaknya dibatasi batu-batu berdiri. Pada umumnya, bangunan teras berundak-undak ini dipergunakan untuk upacara- upacara, dan mungkin juga untuk penguburan.

Ribuan batu yang berbentuk batangan dipasang untuk penguat dinding struktur undak, lantai, tangga batu, dan pembatas halaman. Ada pula yang ditegakkan sebagai batas fitur. Batuan bahan bangunan ini termasuk jenis batuan beku andesit yang mendekati basal, berwarna hitam, dan strukturnya cukup kompak.

Di dekat gerbang masuk situs itu terdapat tumpukan batu di bawah sebuah pohon yang rindang. Saat mengamati bangunan peninggalan masa megalitik tersebut, kita juga dapat menikmati kesejukan hawa pegunungan di tempat itu sambil duduk di atas pelataran situs yang ditanami rumput. Selain itu, di sebelah kiri teras pertama situs tersebut terdapat bangunan dengan susunan batu tegak dan batu datar yang membentuk halaman empat persegi panjang.

Menurut arkeolog Haris Sukendar dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (Puslit Arkenas), bangunan itu kemungkinan merupakan tempat berkumpul para pemimpin masyarakat dalam memutuskan perundangan maupun aturan- aturan yang harus dipatuhi.

Di bagian kanan pelataran pertama situs itu terdapat tumpukan batu menjulang tinggi. Sayang, bentuk asli bangunan itu tidak dapat diketahui karena telah ambruk dimakan usia. Menurut Dahlan, juru kunci situs itu, konon bangunan itu sempat dijadikan tempat ibadah oleh Prabu Siliwangi, penguasa Kerajaan Pajajaran saat itu.

Peninggalan purbakala yang tampak mencolok di Situs Gunung Padang adalah bangunan berundak berukuran besar yang dikelilingi perbukitan. Bangunan itu dikonstruksi sederhana, dengan ribuan batangan batu tanpa ikatan. Bebatuan itu ditumpangkan pada lereng bukit bernama Gunung Padang, dengan elevasi 895 meter di atas permukaan laut.

Seusai mendaki bangunan berundak yang ditumpangkan pada lereng Gunung Padang, kita dapat menyaksikan halaman kedua pada situs tersebut. Halaman itu terdiri dari beberapa teras yang disusun berundak yang ditandai adanya susunan anak tangga.

Menurut Haris, teras-teras yang lebih tinggi digunakan dalam upacara-upacara yang berkaitan dengan pemujaan arwah. Di salah satu teras itu terdapat batangan batu yang berbentuk melingkar. Di tengah lingkaran itu terdapat batu berbentuk balok.

Diperkirakan, ratusan atau bahkan ribuan orang ikut ambil bagian dalam pembuatan situs itu, mulai dari membelah batu, mengangkut dan mengatur balok-balok batu. Penempatan dan perekayasaan pengaturan batu dilakukan oleh orang- orang ahli dalam arsitektur prasejarah, karena kemungkinan bangunan itu runtuh sangat besar jika dibangun tanpa keahlian.

Berdasarkan penampilan fisik dan lokasinya, Gunung Padang merupakan bangunan dari suatu gambaran sejarah manusia yang sedang dalam pencarian tempat bermukim yang permanen. "Ternyata kita berada di antara kelompok itu, memiliki sejumlah kesamaan dalam banyak segi kehidupan dengan kelompok-kelompok Austronesia yang telah bermukim tetap di kawasan Asia Tenggara-Pasifik-Madagaskar," tandas arkeolog Soejono.

BELAJAR sejarah memang tidak terbatas pada teks dalam buku. Akan lebih mengasyikkan jika kita belajar langsung ke tempat-tempat bersejarah itu sambil berwisata. Benak kita akan langsung berimajinasi tentang bagaimana kehidupan nenek moyang kita pada masa prasejarah itu. Bagaimana nenek moyang kita mampu menciptakan karya monumental dengan teknologi tinggi pada zamannya.

Sayangnya, proses pembelajaran di situs megalit itu jadi terganggu karena kondisi fisik bangunan berundak itu memprihatinkan. Halaman situs itu terlihat mulai tertutup ilalang. Ratusan batang batu di lokasi itu berserakan, bahkan banyak batu pada undakan yang telah hilang. "Jangankan pemugaran Situs Gunung Padang, biaya perawatan situs ini saja masih sangat minim," keluh Dahlan.

Seusai berkeliling, kita dapat keluar dari kawasan situs lewat jalan alternatif yang relatif lebih landai dibanding tangga batu buatan nenek moyang. Tepat di dekat anak tangga paling bawah terdapat bangunan permanen yang dapat digunakan sebagai tempat beristirahat para pelancong, dilengkapi dengan kamar mandi.

Matahari telah condong ke arah barat. Sinarnya menyirami bangunan berundak yang tinggal keping-keping sejarah megalitik. Siluet matahari sore itu menembus pepohonan yang ada di kawasan itu, dan menerpa bebatuan. Belum puas rasanya belajar sejarah kepada nenek moyang lewat karya mereka, namun waktu memaksa kita untuk kembali ke peradaban masa kini.

Sebelum meninggalkan lokasi situs, sempatkan diri menengok ke belakang. Bangunan berundak Situs Gunung Padang terlihat diam membisu. Suasana alam pedesaan makin memperkukuh kesunyian situs itu. Saksi sejarah megalitik itu pun kembali sendiri, berteman akrab dengan perbukitan bernama Gunung Padang. Ketika kaki melangkah, bangunan berundak itu seolah terus memanggil untuk kembali.... (EVY RACHMAWATI)

26.1.05

Batu ruhay pasukan ababil


Kanjeng Rosul saw lahir taun Gajah (abad ka-7 M), sabab cenah taun
harita kota Mekah dirurug ku pasukan Gajahna Abrohah. Salajengna
soldadu Abrohah diancurkeun ku datangna pasukan manuk ababil nu
ngaralung-alungkeun batu ruhay nu ngabebela, Mekah salamet.
Tah, pasukan manuk ababil eta teh naha bener2 pasukan manuk atawa
mangrupa hiji fenomena alam--nu kalawan kakawasaan Pangeran--meneran
nyalametkeun Mekah tina serbuan soldadu Abrohah? Sakumaha dugaan kana
saluyuna kajadian banjir jaman Nabi Nuh a.s. jeung kajadian leehna es
di kutub nu ngakibatkeun paparan Sunda tilelep...

Hehe, bet los-los ka dinya nya euy?! Numawi, keur pangangguran ieu
teh... Kamari lalayaran di internet, manggihan artikel ngeunaan dugaan
ayana kajadian dina mangsa kira abad ka-6/ka-7, nyaeta bituna gunung
di selat Sunda. Ayeuna aya Anak Krakatau, baheula aya Krakatau (bitu
abad ka-19). Samemehna Krakatau, beh dituna deui aya gunung nu leuwih
badag batan Krakatau, nu sigana bitu dina abad ka-6/7 tadi. Nya ku
bituna eta gunung, ayeuna aya Selat Sunda teh, da samemehna mah
(nalika gunung memeh-krakatau tea can bitu), Jawa Sumatra teh nyambung
keneh...